tumor anak gaul

Hari Rabu (27 Juni 2007), sepulang kerja aku bergegas menuju rumah sakit Darmais. Rencana bezuk ini sebenarnya sudah ada sejak aku mendengar kabar jika Fendi akan dibawa ke rumah sakit untuk menjalani operasi. Fendi adalah adiknya Ratna. Dulunya aku pernah sekantor dengan Ratna dan suaminya, Joni, ketika masih di Solo. Saat ini Joni bekerja di Jakarta. Karena merasa dulu pernah sekantor dengan Joni saat di Solo, aku menganggap dia sebagai salah satu teman dekatku semenjak aku tinggal di kota perantauan ini.

Fendi mengidap sejenis tumor di pangkal kaki kanannya. Tumor itu ditemukan gara-gara dia pernah terjatuh dan lukanya tidak pernah sembuh. Saat di Solo, dia sebenarnya sudah menjalani operasi untuk membersihkan tumor itu. Apa daya ternyata tumor itu berkembang lagi. Kali ini makin “mengganas” karena sudah menggerogoti tulang paha hingga tulang yang tersisa seperti selembar kertas.

Setelah konsultasi ke beberapa dokter, ada jawaban yang memuaskan dan memberi solusi terbaik dari dokter ahli tumor di rumah sakit Darmais. Operasi kedua wajib dilakukan segera untuk menyelamatkan tulang yang tersisa. Yang ditakutkan, tulang paha yang sudah tipis itu tidak mampu menopang berat badannya Fendi dan cepat patah.

Operasi itu pun dilakukan hari Selasa (26 Juni) mulai dari jam 08.00 – 12.00. Dasar si Fendi ini anaknya kocak, dia cerita jika operasinya tidak dimulai jam 08.00 pas. Gara-gara ada dokter yang terlambat datang, para dokter yang datang ontime “nesu-nesu” (marah-marah). “Aku denger mereka marah-marah, mbak … sebelum mengoperasi diriku,” kata Fendi dengan mimik lucunya. Sebenarnya operasi pembersihan tumornya bisa dibilang cepat. Yang memakan waktu adalah ketika tim dokter meluruskan kembali tulang pahanya yang sudah tipis itu. Ternyata tulang itu sudah telanjur melengkung. Jadinya, tulang pipih itu diproses begitu rupa supaya bisa lurus kembali. Nah, supaya tulang itu kuat menyangga tubuh, tim dokter mengambil tulang di rusuk kanannya. Waduh … aku ga bisa mbayangin bagaimana rasa sakitnya karena ada 2 pembedahan sekaligus saat operasi itu. Kedua tulang itu disambung dengan pen (penyangga dari logam). Karena Fendi masih di masa pertumbuhan (usianya baru 17 tahun), maka akan ada operasi lagi untuk mengambil dan mengganti pen-nya.

Saat kutanya sebenarnya tumor apa yang ada di kakinya, Fendi menjawab, “Ini tumornya anak gaul, mbak.” Ku tanya sekali lagi karena kuanggap dia bercanda. Dia njawabnya lebih parah, “Aku mengidap tumornya anak muda,” dengan senyuman tersungging di wajahnya. Akhirnya dia njelasin juga saat melihat kebingungan di wajahku. Emang sih ada nama keren yang sudah tidak kuingat lagi untuk tumor itu. Yang jelas, tumor itu hanya muncul di masa pertumbuhan dan akan hilang dengan sendirinya ketika seseorang sudah mencapai tingkat maksimal pertumbuhannya. Dengan kata lain, sebenarnya tumor yang diidap Fendi bisa hilang sendiri ketika dia berumur 20-21 tahun nanti.

Namun, sayangnya … pertumbuhan tumor itu terlalu cepat dan di saat usianya sekarang, tumor itu sudah memakan tulang pahanya sedemikian parah. Satu-satunya cara ya menjalani operasi untuk membersihkannya. Entah berapa kali lagi operasi yang akan dijalaninya. Pasca operasi kali inipun bisa dibilang tidak mudah. Selama 3-6 bulan ke depan, Fendi harus memakai kruk untuk memudahkannya berjalan. Setelah tulang pahanya kuat, dia baru bisa melepaskan kruknya.

Saat ku lihat keadaannya di rumah sakit pun, aku sudah bisa merasakan sakitnya. Ada alat penyedot darah kotor yang masih menempel di kakinya. Belum lagi liat jarum infus yang menusuk tangannya. … banyaklah pernak-pernik rumah sakit yang bikin aku ngeri. Mengucap syukurnya, di ruangan yang berisi 8 tempat tidur itu, hanya ada 2 yang terisi. Tidak terlalu berisik dan aku tidak melihat penyakit-penyakit tumor yang aneh-aneh.

Sekalian cerita tentang perjalananku ke rumah sakit ini. Aku sudah berulang kali naik bus kopaja 88 menuju ke Apartemen Semanggi di Slipi. Kopaja ini selalu melewati rumah sakit jantung Harapan Kita dan rumah sakit kanker Darmais yang letaknya berdampingan. Namun, giliran aku mo ke Darmais, aku kebingungan banget. Emang sudah yakin jika kopaja 88 akan melewati Darmais, tetapi aku tidak tau di mana pasnya untuk turun. Akhirnya pesen ke kenek bus untuk menurunkan aku ke Darmais. Akhirnya sampai juga aku ke rumah sakit itu. Sekarang urusan mencari kamarnya di lantai 4 ruang Soka. Bersyukur karena aku bisa bareng dengan seorang bapak yang anggota keluarganya di rawat di lantai 5. Bersama bapak ini, aku tau lift mana yang bisa mengantarku langsung ke lantai 4 dan beliau melanjutkan perjalanan ke lantai 5. Rumah sakitnya terlihat bersih dan tidak separah di rumah sakit dr. Muwardi Solo. Terpaksa aku bertanya ke dua orang perawat karena aku tidak berhasil menemukan ruang Soka. Saat masuk ke ruang Soka, tidak ada papan tulisan nama-nama pasien. Jadi terpaksa celingukan untuk melihat siapa yang ada di balik tirai pemisah tempat tidur. Karena hanya ada 2 pasien di ruangan itu, aku tidak terlalu khawatir. Fendi pun menyapaku terlebih dulu, “Halo, mbak. ” Aku heran juga karena dia masih mengingat wajahku. “Mbak Ratna sedang mandi,” katanya menjelaskan. Dan aku pun berbicara dengannya seputar operasi sambil menunggu Ratna.

Itulah sekilas kisah tentang Fendi. Meskipun dia mengalami kesakitan pasca operasi, tetapi sifat jahilnya masih ada. Para perawat dan dokter pun selalu diajaknya bercanda. Cepat pulih, Fendi dan aku seneng banget bisa punya kesempatan untuk mengenal dia …

Jakarta, 29 June 2007

Leave a comment